Remang malam bulan gamang
Angin menderu dera berseru
Bayang-bayang yang lalu
Bersimpuh pada kaki nan kaku.
Dia bersandar di kepala ranjang
Dan menatap jam dinding sesekali
Menjahit luka dengan benang kusut
Di hatinya; seekor gagak bersarang
Seorang puan mengetuk pintunya
Yang sepi. “Aku kembali karena jiwaku tertinggal.”
Dia mendengar suara itu, sayup-sayup memang.
Tapi seingatnya, tak ada lagi jiwa yang tertinggal.
Selama ini, dia menyerahkan jiwa-jiwa yang
Sempat bersemayam di batinnya.
“Bisa buka pintunya? Tolong, tanpa itu aku bakal melangkah seperti mayat hidup.”
“Tunggu sebentar,” dia mengoyak hatinya kembali,
Membuka luka yang sebelumnya tengah dijahit.
Darah mengalir, kelam menjelma, jerit-tangis
Menubruk dada, dan keluar menjadi angin malam.
Lekas dia buka pintu, dengan darah menyapa tangannya yang getar. “Mungkin yang ini, betul?”
Puan tersenyum dan mengambil jiwanya kembali, pulang dengan langkah seekor kijang. “Terima kasih,” sembari melambaikan tangan.
Selepas itu, dia kembali mengunci pintunya, dan tidur lelap. Sebelumnya dia menatap jam dinding dan menjahit lukanya yang kembali menganga. Di hatinya; tak ada lagi seekor gagak.***
Jakarta, 5 Mei 2024
Baca juga: SKETSA KENANG SELEMBAR DAUN PISANG
No comments yet.